Kamis, 09 April 2015

“Penguatan Kapasitas dan Kompetensi SDM Menjawab Peluang Bonus Demografi”


     Penjelasan mengenai bonus demografi sebagaimana disampaikan oleh Sarwono Kusumaatmadja, bahwa kita perlu memikirkan tentang dampak bonus demografi mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2045 mendatang, bagi bangsa Indonesia peristiwa ini akan menjadi berkah atau justru menjadi bencana?. Semuanya itu berpulang pada kesiapan kita dalam mengantisipasinya, terutama kesiapan para kaum muda yang masuk dalam kategori angkatan usia produktif, yang melonjak secara tajam pertumbuhannya. Persaingan mendatang menuntut kualitas yang tinggi, apalagi dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka Indonesia akan dibanjiri oleh para tenaga kerja asing yang akan menjadi kompetitor tenaga kerja Indonesia di negeri sendiri.
Sebagai moderator dalam kesempatan diskusi pertama dengan kaum muda, Bambang Wasito Adi kembali mengulang garis besar sebagaimana yang telah disampaikan oleh HK maupun SK mengenai apa itu bonus demografi serta bagaimana menghadapinya. Secara rinci disampaikan melalui slide (terlampir).
Sesi Pertama
     Dini Hidayati pada kesempatan menyampaikan pandangan-pandangannya, bahwa semenjak duduk dibangku kuliah (Jurusan Sastra Cina –UI) telah aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat bersentuhan langsung dengan masyarakat di pelosok-pelosok, seperti saat mengikuti program K2N dan menjadi pendamping bagi mahasiswa yang mengikuti program tersebut. Setelah lulus kuliah dia melanjutkan karir pada perusahaan swasta, namun karena panggilan jiwanya untuk memberikan pengabdian maka ketika ada tawaran dari program Indonesia mengajar, ia pun memutuskan untuk keluar dari tempatnya bekerja dan memilih menjadi tenaga sukarela mengajar di pelosok. Dalam masa pengabdian selama satu tahun mengajar di Kabupaten Riau Kepulauan di Pulau Rumpat yang merupakan wilayah perbatasan, banyak ditemui berbagai permasalahan sosial di tengah masyarakat, seperti rendahnya tingkat pendidikan serta minimnya informasi yang mereka terima. Kesemua kejadian nyata tersebut justru semakin mempertebal rasa kebangsaan dalam dirinya, suatu panggilan jiwa yang kuat untuk memberikan pengabdian bagi masyarakat tersebut. Di tengah lokasi dan kehidupan masyarakat yang sangat terbatas pada berbagai akses, yang dilakukan adalah membangkitkan rasa ingin tahu melalui proses pembelajaran berbasis cerita terhadap anak-anak yang digabungkan dengan perpustakaan kecil.
     Selain itu juga populasi masyarakat seperti halnya di Pulau Rumpat, yang merupakan pembauran antara masyarakat asli melayu, pendatang dan keturunan Thionghoa yang telah berberapa generasi lahir dan besar di Pulau tersebut, sedikit banyak menimbulkan permasalahan sosial seperti toleransi beragama yang kurang harmonis walaupun tidak sampai menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan. Hal ini bukan berarti menandakan bahwa masyarakat di daerah terpencil tidak memiliki kualitas, namun mereka hanya kekurangan akses informasi dalam berbagai hal karena selama ini aktifitas sosial dan komunikasi yang terjalin hanya antar masyarakat di pulau tersebut dan pulau-pulau sekitarnya saja.
   Menanggapi apa yang disampaikan DH tersebut, SK menambahkan bahwa akses informasi memiliki arti dan manfaat yang penting bagi masyarakat di wilayah terpencil, agar dapat selalu mengikuti perkembangan zaman, selain itu juga pentingnya sarana komunikasi dan transportasi agar pergaulan antar masyarakat se Indonesia dapat terus ditingkatkan. Sementara dari Roland Wiryawan menanyakan bagaimana caranya agar masyarakat tersebut dapat mengakses informasi, dan apa yang dapat kita lakukan untuk itu?. Menanggapi pertanyaan tersebut DH menegaskan bahwa selain bantuan-bantuan yang bersifat fisik tersebut, tetap harus dilakukan pendampingan bagi masyarakat agar bantuan tersebut dapat optimal pemanfaatannya. Selain itu juga perlu adanya program yang berbentuk pertukaran antar pelajar, mahasiswa dan pemuda antar pulau atau wilayah di Indonesia agar masing-masing saling memahami budaya tiap wilayah dan sekaligus juga sebagai tenaga pendamping bagi masyarakat. Pendapat tersebut didukung oleh Goris Mustaqim yang menegaskan bahwa menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk membangun desa dan masyarakat desa di Indonesia. Untuk membangun wilayah-wilayah pedesaan terutama yang berada di perbatasan diperlukan suatu gerakan bersama yang bersifat nasional dan menyeluruh dan diperlukan adanya ‘aktor’ sebagai penggerak dan pendamping, sehingga tidak lagi menjadi gerakan sendiri-sendiri tapi lebih sebagai gerakan nasional.
     Selama ini cukup banyak kelompok-kelompok pendamping yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang lebih bersifat situasional dan tidak akan ada jaminan ada untuk selamanya. Apa yang sudah diperbuat oleh kelompok-kelompok sosial tersebut membawa dampak positif bagi masyarakat pedesaan, melalui penularan ‘virus’ semangat untuk maju yang harus selalu dipelihara dan dikembangkan terus menerus. Menanggapi hal tersebut, Imron Rosadi mempertanyakan sampai sejauh ini, apakah ada data statistik yang menunjukkan potensi setiap wilayah di Indonesia? Lalu dari potensi yang ada, apakah telah dikelola secara optimal dan berdaya guna bagi masyarakat atau tidak? Hal-hal seperti ini kerap menjadi pertanyaan bagi kita bahkan menjadi masalah yang selalu hadir dalam setiap pembahasan mengenai pembangunan desa.
    Sementara itu Heru Krisna Putra (Jimmo) lebih menyoroti pada pentingnya pembangunan mentalitas manusianya, antara lain melalui pendidikan budi pekerti, sebagaimana yang disampaikan oleh DH di dalam ceritanya ketika mengajar di Pulau Rumpat, bahwa ada masalah dengan mentalitas manusianya yang perlu dilakukan suatu tindakan positif. DH sepakat dengan pentingnya pembentukan mentalitas tersebut, yang olehnya dikatakan sangat penting untuk memberikan suatu contoh dengan perilaku langsung, sehingga masyarakat akan dapat meniru perbuatan positif tersebut hingga menjadi suatu kebiasaan yang dapat mempengaruhi proses pembentukan watak, yang oleh BWA dikatakan sebagai ‘inspiring power’ melalui perilaku, ide dan gagasan.
     Akses informasi yang telah terjadi selama ini melalui fasilitas-fasilitas komunikasi seperti internet yang dapat diakses melalui sarana telepon seluler, juga membawa masalah tersendiri yang oleh Sheilla Andita Putri dikatakan sebagai aktifitas yang kurang menggunakan ‘motorik’ karena aktifitas di dunia maya apalagi jika berlebihan akan memangkas kreatifitas dan jika kreatifitas menjadi mati maka kemungkinan besar peristiwa BD bagi bangsa Indonesia akan menjadi bencana.
Sesi Kedua
     Pada sesi ini tampil Goris Mustaqim melalui makalah tertulisnya (terlampir) yang kemudian dalam penyampaian ditambahkan beberapa hal sebagai berikut: mengenai topik bonus demografi dalam diskusi ini, saya mewakili generasi yang lahir antara tahun 80-an – 90-an, yang selalu dikritik oleh generasi terdahulu sebagai generasi yang termanjakan dengan kemajuan teknologi; kalau kerja sering pindah-pindah tempat mencari penghasilan yang lebih baik (istilahnya kutu loncat); masih mencari eksistensi diri yang cenderung ‘narsis’; lebih cenderung pada hal-hal yang kongkrit; lebih memilih menjadi pemilik usaha walaupun kecil dibandng sebagai pegawai di perusahaan besar; dan masih banyak ilihn-pilihan lainnya. Generasi kami ini lebih kolaboratif misalnya melalui komunitas dan media sosial atas dasar kesamaan hoby dan lain-lain.
     Terlepas dari itu semua, generasi kami ini masih memiliki kepedulian pada lingkungan dan suka akan perubahan sekecil apapun perubahan itu. Generasi ini di pedesaan kurang mendapat informasi sekaligus pendampingan dalam upaya mewujudkan nilai-nilai kreatifitas dan inovasi-inovasi yang produktif. Masing-masing daerah memiliki keunggulan sendiri yang terkait erat dengan kearifan lokal setempat. Masyrakat agraris dalam aktifitasnya lebih terlihat kebersamaannya, berbeda dengan masyarkat esisir yng lebih individualistis. Di Kabupaten Garut, rintisan usaha penggerak SDM pedesaan melalui pendirian bimbingan belajar lalu lanjut pada pemberdayaan masyarakat petani, pekerja musiman maupun buruh-buruh bangunan.
     Sementara industri kerajinan khas garut juga semakin dikembangkan seperti: industri dodol garut, jaket kulit domba dan lain-lain. Hal semacam ini kerap saya lakukan sejak masa sekolah, bahkan ketika di ITB tahun 2006 di laksanakan ITB economic chlengger bagi usahawan-usahawan kecil yang dibina dan dibantu pemodalannya melalui ‘sistem share saham’. Bantuan pemodalan bagi para pedagang pasar juga diberikan secara berkelompok dengan sistem tanggung renten, dimana jika ada salah satu pedagang kesulitan dalam pengembalian akan ditanggung secara bersama oleh kelompoknya. Selain itu juga kami membantu mendirikan koperasi kayu dengan meminjamkan modal (untuk waku selaa 6 bulan) penanaman kayu di lahan-lahan milik masyarakat maupun di lahan tidur yang nanti hasil penjualannya dibagi bersama. Namun dari pengalaman-pengalaman yang terjadi tercatat juga bahwa kemitraan usaha sejenis antara pelaku usaha yang senior dengan yang pemula, terkadang bukan saling mendukung tapi malah jadi saling bersaing. Terlepas dari itu semua, yang utama bahwa nilai-nilai idealisme akan tumbuh berkembang seiring dengan realita yang terjadi.
Generasi kami lebih terkenal sebagai ‘generasi why’, yang berorientasi untuk sejahtera dari sisi materi namun juga tetap ingin membantu orang lain untuk ikut maju juga. Banyak orang-orang yang berjiwa sosial di Indonesia yang terkenal bahkan hingga dunia international, disinilah ‘generasi why’ terkadang mendapat manfaat yang bukan hanya sekedar untuk survive tapi juga melesat maju berkembang.
     Dalam dialog menanggapi paparan Goris Mustaqim tadi, Dini Hidayati menanyakan bagaimana cara yang dilakukan oleh GM untuk mengajak para orang muda di Garut untuk secara bersama-sama membangun aktifitas produktif bahkan sampai seluruh masyarakat ikut terlibat? Langsung dijawab bahwa awalnya hanya mengajak yang mau saja, sambil pelan-pelan berjalan dan terlihat hasilnya maka yang lain menjadi tertarik dan ingin bergabung. Sistem yang diberlakukan juga beragam, mulai dari bagi hasil hingga upah bulanan, terutama untuk yang berstatus pekerja seperti pada bagian manajemen dan administrasi. Cara seperti ini dapat di coba di setiap wilayah hanya saja bidang pekerjaannya disesuaikan dengan potensi daerah masing-masing.
    Selanjutnya Kristia Devina Sianipar lebih memberikan perhatian pada para lulusan sarjana yang lebih memilih untuk menunggu kesempatan menjadi PNS ketimbang membangun usaha mandiri atau kelompok, disambung oleh Nilamsari, yang bercerita bagaimana masa-masa awal membangun usaha makanan ‘kebab’ hingga sukses mengembangkan waralaba hingga ke manca negara. Diawali ketika ia dan suami memutuskan untuk ‘DO’ bersama dari perguruan tinggi dan bertekad mandiri. Untuk menambah wawasan kami berdua lebih memilih mengikuti kursus-kursus terkait dengn usaha yang sedang kami rintis hingga berkembang seperti sekarang ini. Masa sekarang adalah masa untuk mengambil inisiatif dan keputusan secara tegas dan membangun kreatifits melalui inovasi-inovasi positif, yang tidak hanya sebatas motivasi saja, karena semangat motivasi seperti nge’cas’ baterei kalo ga sering di ‘cas’ pasti drop. Pesannya bagi para pemula atau bahkan yang baru berniat membangun usaha, agar hati-hati dalam mengelola keuangan perusahaan agar dapat dipergunakan untuk mengembangkan usaha secara maksimal.
    Indiana Soerianatanegara mengawali usaha pada sektor pertambangan batubara namun karena akhir-akhir ini mengalami ‘kelesuan’ maka beralih ke bidang usaha property. Dari pengalamannya selama berada di daerah-daerah secara langsung, wilayah Indonesia sebenarnya sangat kaya dengan sumber daya alam yang berlimpah, hanya saja kurang didukung manusianya yang justru malah jadi pemalas. Untuk itu perlu dukungan pemuda-pemuda lain daerah yang telah berhasil membangun daerahnya masing-masing untuk menjadi pendamping agi nak mud di wilayah lain. Fatah Yasin dari Organisasi ‘One Day One Juz’, menyampaikan pentingnya masing-masing kita untuk selalu membiasakan diri membaca Kitab Suci masing-masing sebagai upaya untuk membangun sikap mental yang berkarakteristik. Komunitas ODOJ ini telah mencapai jumlah sekitar 150 ribu orang se Indonesia.
   Dimas Djajadinekat yang juga tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Psikologi dan mengembangkan karir sebagai cineas muda dan penulis buku ‘strategi nekat’. Sekarang ini banyak anak muda yang hanya ingin menjadi pegawai walaupun mungkin hanya sebagai seorang ‘office boy’ saja yang penting bekerja di kota, akhinya lahan potensial yang dimiliki di desanya menjadi terbengkalai. Mereka ini perlu diberikan inspirasi dan motivasi awal untuk membangun potensi yang dimiliki menjadi suatu usaha mandiri. Kini tengah dimulai untuk membuat video mengenai bukti-bukti kepeloporan pemuda dalam membangun usaha mandiri dan menggerakkan masyarakat lainnya untuk maju berkembang bersama. Saya mengapresiasi bahwa anak-anak muda yang ada di ruangan ini adalah ‘orang-orang gila’ yang kreatif yang wajib menularkan semangatnya kepada anak muda lainnya, mungkin perlu dibuat wadah atau komunitas bagi yang ’gila-gila’ seperti ini.
Sesi Ketiga
     Pemrasaran ketiga adalah seorang dokter yang memutuskan menjadi petani dan kini terlibat total dalam aktifitas penyuluhan pertanian. dr. Imron Rosadi alumni Fak. Kedokteran Undip, Semarang, sejak tahun 2008 memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Blitar bersama istrinya untuk hidup sebagai petani. Profesi petani sebenarnya lebih banyak menganggurnya ketimbang bekerja, dengan masa tanam selama 120 hari, seorang petani hanya akan kerja secara penuh selama 30 hari, maka sisa waktu Selama 90 hari praktis tidak bekerja apa-apa kecuali hanya melihat-lihat tanaman hingga panen nanti. Jadi pengangguran terbesar adalah petani hanya saja tidak menyolok terlihat, karena ketika kontrol dan melihat-lihat tanaman itu sudah dianggap bekerja. Petani dari sisi hasil hanya mendapat bagian sedikit, sedangan penikmat keuntungan terbesar di sektor pertanian adalah pedagang sarana pertanian (saprodi) dan para tengkulak hasil pertanian.
     Oleh karena itu, saya mulai berpikir untuk membangun suatu metoda yang membantu manajemen rumah tangga petani, dengan membuat kalkulasi kebutuhan hidup harian dan rutin bulanan setiap keluarga petani serta berapa banyak potensi ekonomi yang dimilikinya yang dapat dioptimalkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Potensi ekonomi di desa masih banyak sekali yang belum tersentuh, yang dapat menjadi modal dasar untuk membangun desa, sehingga desa benar-benar menjadi magnet perekonomian nasional.
   Beberapa jenis usaha dan kerjasama yang telah atau pernah dibangun dengan melibatkan masyarakat, antara lain kerjasama dengan BPD Jateng dan Perum Perhutani dalam membangun perusahaan daerah bidang pangan, penyaluran kredit usaha tani yang besarannya disesuaikan dengan kebutuhan usaha petani, agar tidak terjebak konsumtif. Mengenai kredit saya agak kurang sepakat dengan konsepnya Goris mengenai kredit tanggung renten, yang membebani orang lain untuk membayari hutang orang lain walau anggota kelompoknya sendiri. Terkait dengan bonus demografi ke depan, mungkin lebih baik jika fokus pengembangan usaha lebih diarahkan pada sektor pertanian, peternakan dan kelautan yang begitu menjanjikan perkembangannya.
   Dalam praktiknya, upaya antisipasi bonus demograf ini, segala program ekonomi yang direncanakan harus terintegrasi, seperti misalnya peran media dalam menginformasikan dan mensosialisasi berbagai kemajuan dan peluang yang ada. Pembangunan bangsa ini menjadi tanggung jawab bersama dalam kreatifitas yang inovatif melalui pemanfaatan segenap potensi SDA oleh SDM yang handal.
    Kemudian paparan diakhiri sekaligus dibuka forum dialog diawali oleh Dini Hidayati yang menyatakan kecintaannya pada wilayah pedesaan dan siap kapanpun juga untuk ditempatkan di desa manapun di Indonesia. Pesannya bagi para anak muda untuk tetap memelihara rasa nasionalisme. Sementara itu Nadya Saib, alumni Fak. Pharmasi ITB tahun 2008, sangat mendukung upaya pembangunan pedesaan, karena selama ini juga banyak beraktifitas di desa dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai mitra usaha, seperti di bidang pertanian buah strawberry, bunga mawar dan budidaya tomat serta produk kosmetik dan kesehatan yang berbahan dasar hasil pertanian tanpa kimiawi berbahaya. Pengalaman yang didapat mengajarkan agar petani memulai mengatur pola tanam supaya tidak terjadi over produksi yang membuat harga jual menjadi sangat murah. Selain itu juga perlu diperhatikan adanya ‘gap’ budaya antar wilayah yang dapat menjadi potensi disintegrasi, untuk itu perlu memulai sesuatu yang baru, yang mampu memperkecil bahkan menghilangkan ‘gap’ tersebut.
    Nino SK., memberikan apresiasi positif atas jalannya diskusi dan dialog antar anak muda ini sebagai pertemuan para penggiat-penggiat sosial ekonomi yang telah teruji. Bidang bisnis yang dijalani memang bukan bidang baru, hanya saja ‘arena’ yang dipergunakan selalu memberikan sesuatu yang baru. Pertemuan kali ini masih banyak ‘angle’ nya, namun wajar karena baru pertama bertemu dan saya yakin pertemuan selanjutnya pasti akan ada sesuatu yang positif, yang dapat dibuat, mungkin forum ini perlu dikembangkan menjadi semacam komunitas para kreatif dan inovator handal yang telah teruji ini.
    Senada dengan pendapat Nino, Roland Wiryawan juga sangat mendukung untuk dibentuknya forum komunitas khusus sebagai kelanjutan diskusi ini agar dapat diarahkan untuk membangun sesuatu yang positif dari ide-ide yang muncul dalam diskusi ini, sehingga ide cemerlang tersebut tidak hanya berakhir dalam ruangan ini saja.

RANGKUMAN BAHASAN

     Diskusi seri pertama desk pemuda ini merupakan upaya untuk mendapatkan masukan secara murni sebagai bentuk kepedulian kaum muda terhadap permasalahan kependudukan dengan segala dinamikanya. Lonjakan secara tajam pertambahan jumlah penduduk Indonesia, menjadi fenomena tersendiri karena penambahan yang terjadi justru pada kelompok usia produktif, yakni antara usia 15 hingga 64 tahun dan dari rentang usia ini terbesar pada bagian usia 15 – 30 tahun. Peristiwa ini diistilahkan dengan ‘bonus demografi’, yang hanya terjadi sekali dalam sejarah perjalanan suatu bangsa. Indonesia sedang menjalaninya sejak tahun 2012 hingga tahun 2045, dengan puncaknya nanti pada tahun 2028 – tahun 2031.
        Beragam pendapat dan komentar bermunculan secara murni dari para peserta yang hadir, dengan latar belakang yang juga beragam akhirnya justru memunculkan ide-ide yang inspiratif serta minat yang semakin besar dari peserta untuk lebih serius lagi dalam melakukan aktifitas sebagaimana yang selama ini mereka jalani, bahkan ditambah dengan orientasi untuk mengantisipasi peluang dan tantangan kejadian bonus demografi yang mulai berjalan sekarang ini. Pendapat-pendapat tersebut, antara lain:

• Bonus demografi memiliki dampak, akan menjadi berkah atau bencana?. Semuanya itu berpulang pada kesiapan kita dalam mengantisipasinya, terutama kesiapan para kaum muda. Persaingan mendatang menuntut kualitas yang tinggi, apalagi dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka Indonesia akan dibanjiri oleh para tenaga kerja asing yang akan menjadi kompetitor tenaga kerja Indonesia di negeri sendiri. (Sarwono Kusumaatmadja).

• Pembangunan Desa dan masyarakat di pedesaan menjadi fokus dalam pembicaraan dalam diskusi ini, beberapa pembicara menyampaikan pengalamannya dalam berinteraksi dengan masyarakat desa. Banyak permasalahan sosial, seperti rendahnya tingkat pendidikan, minimnya informasi yang mereka terima maupun permasalahan komunikasi budaya karena pembauran antar etnis dan budaya dalam satu wilayah. Sejatinya potensi masyarakat pedesaan khususnya pada generasi muda cukup berkualitas dan prospektif, hanya saja kurang memiliki akses informasi dan kurang mendapat bimbingan atau pendampingan untuk dapat mewujudkan kreatifitas yang selama ini sebenarnya dimiliki mereka. (Dini, Imron, Goris, Nadya, Indiana S.)

• Kondisi tersebut semakin mempertebal rasa kebangsaan dalam jiwa, sebagai suatu panggilan jiwa yang kuat untuk memberikan pengabdian bagi masyarakat tersebut. Masyarakat memang membutuhkan bantuan-bantuan, namun yang utama adalah bantuan yang bersifat pendampingan agar dapat optimal pemanfaatannya, selain itu diperlukan juga program pertukaran antar pelajar, mahasiswa dan pemuda antar pulau atau wilayah di Indonesia agar masing-masing saling memahami budaya tiap wilayah, serta sekaligus berperan sebagai tenaga pendamping bagi masyarakat. (Dini H.)

• Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana caranya agar akses untuk mendapatkan informasi dan kelancaran dalam komunikasi serta kemudahan bertransportasi, dapat disegerakan di daerah-daerah yang terpencil, di kepulauan maupun di perbatasan? Karena akses informasi, komunikasi dan transformasi memiliki arti dan manfaat yang penting bagi masyarakat di wilayah terpencil, agar dapat selalu mengikuti perkembangan zaman, selain itu agar pergaulan antar masyarakat se Indonesia dapat terus ditingkatkan. (Sarwono, Roland)

• Namun harus juga diperhatikan mengenai akses informasi tersebut, apa yang terjadi selama ini melalui fasilitas-fasilitas komunikasi seperti internet yang dapat diakses melalui sarana telepon seluler, juga membawa masalah tersendiri karena penggunanya akan kurang menggunakan ‘motorik’, yang jika berlebihan akan memangkas kreatifitas. (Sheilla Andita Putri)

• Membangun desa dan masyarakat desa di Indonesia. Merupakan pekerjaan dan tanggung jawab bersama, sehingga diperlukan suatu gerakan bersama yang bersifat nasional dan menyeluruh, dengan ‘aktor-aktor’ sebagai penggerak dan pendamping, agar tidak lagi menjadi gerakan sendiri-sendiri. Apa yang selama ini dilakukan oleh kelompok-kelompok pendamping swadaya masyarakat, setidaknya telah menjadi ‘virus’ semangat untuk maju dan berkembang bagi masyarakat. Hanya saja untuk menjadikannya sebagai gerakan nasional, dibutuhkan data statistik mengenai potensi setiap wilayah di Indonesia, karena setiap daerah di Indoneia memiliki keunggulan masing-masing. Mana saja yang sudah dikelola, optimal atau baru sebagian? Atau yang sama sekali belum dikelola?, serta bagaimana mengelolanya agar optimal dan berdaya guna bagi masyarakat. (Goris, Imron, Nadya)

• Satu hal yang sangat mendapat perhatin serius seluruh peserta diskusi adalah kesiapan mentalitas manusianya, dalam hal ini para usia produktif. Banyak dari mereka yang sudah mendapat pendidikan yang cukup bahkan hingga tingkat pendidikan tinggi, namun di lingkungannya tidak mampu menjadi inspirator bagi masyarakat di sekitarnya, bahkan mereka tersebut lebih memilih untuk menjadi PNS (Kristia, Dimas, Heru).

• Pembentukan mentalitas tersebut menjadi sangat penting untuk memberikan suatu contoh dengan perilaku langsung, sehingga masyarakat akan dapat meniru perbuatan positif tersebut dan menjadi suatu kebiasaan yang mempengaruhi proses pembentukan watak. (Dini), atau sebagai ‘inspiring power’ melalui perilaku, ide dan gagasan. (Bambang Wasito).

• Secara umum generasi yang lahir antara tahun 80-an – 90-an, adalah generasi yang termanjakan dengan kemajuan teknologi; kalau kerja sering pindah-pindah tempat mencari penghasilan yang lebih baik (istilahnya kutu loncat); masih mencari eksistensi diri yang cenderung ‘narsis’; lebih cenderung pada hal-hal yang kongkrit; lebih memilih menjadi pemilik usaha walaupun kecil daripada menjadi manager di perusahaan besar; dan lebih kolaboratif misalnya melalui komunitas dan media sosial. Generasi ini lebih dikenal sebagai ‘generasi why’, yang berorientasi untuk kaya tapi tetap peduli dengan orang lain. Keterkaitan peran generasi muda dalam perannya untuk menjadi penggerak pembangunan watak sekaligus membangun kebersamaan yang melibatkan anggota masyarakat, yang dimulai dari diri sendiri, dengan memberi contoh baru mulai mengajak siapa saja yang mau walaupun hanya sedikit tapi dapat menjadi awal bagi pengembangan ke depan. Jadi generasi muda harus mengambil inisiatif dan keputusan secara tegas serta membangun kreatifitas melalui inovasi-inovasi positif (Goris, Imron, Dini, Nilamsari)


• Forum ini perlu dikembangkan menjadi semacam komunitas para kreatif dan inovator handal yang telah teruji ini, sebagai kelanjutan diskusi ini agar dapat diarahkan untuk membangun sesuatu yang positif dari ide-ide yang muncul dalam diskusi ini, sehingga ide cemerlang tersebut tidak hanya berakhir dalam ruangan ini saja (Nino SK, Roland Wiryawan).



DKI, YOGYAKARTA, JATIM & BALI’, EMPAT PROVINSI PERTAMA YANG TENGAH MENGALAMI BONUS DEMOGRAFI


Entah disadari atau tidak, baik oleh masyarakat maupun jajaran pemerintahan di empat provinsi tersebut (DKI, Yogyakarta, Jatim dan Bali), bahwa sejak tahun 2010 tingkat pertumbuhan penduduk usia produktif (15 – 64 tahun, standar BKKBN) telah terjadi secara masif di wilayah mereka.
    Kemungkinan tidak disadarinya lonjakan pertumbuhan usia produktif tersebut, karena sebagian besar kepala daerah menganggap bahwa era bonus demografi baru akan berlangsung pada tahun 2020 – 2030 mendatang. Persepsi yang keliru tersebut, umumnya terjadi karena peristiwa ‘bonus demografi’ sebagai isu, untuk kalangan elit terlebih politisi merupakan isu yang tidak menarik. Terlebih lagi isu tersebut berada dalam rentang waktu yang sangat lama, sangat kurang produktif bagi komoditi politik yang bergerak dalam siklus lima tahunan.
     
     Dalam kesempatan diskusi bonus demografi yang diselenggarakan pada tanggal 19 Januari 2015 di Universitas Trilogi, Jakarta, yang merupakan diskusi seri ke-empat yang dilaksanakan Kelompok Peduli Bonus, disampaikan oleh Prof. Dr. Haryono Suyono bahwa “bonus demografi itu sendiri sebenarnya sudah mulai kita jalani sejak tahun 1980-an seiring dengan keberhasilan menekan laju pertumbuhan penduduk dan meminimalkan angka kematian ibu dan anak. Program keluarga berencana yang dilaksanakan secara masif dan terstruktur antara lain dengan menggerakkan potensi bidan-bidan desa dan dokter keliling, sehingga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap terbentuknya struktur penduduk ideal seperti sekarang ini, di mana usia produktif meningkat tajam”. Pernyataan tersebut disampaikan pada diskusi bonus demografi, dalam kapasitasnya selaku Dewan Pembina Universitas Trilogi Jakarta, sekaligus mantan Ketua BKKBN dan menteri di era orde baru.
      
     Diskusi bonus demografi kali ke-empat ini mengundang para ahli dari berbagai disiplin ilmu, baik keilmuan murni maupun ilmu terapan, sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. Asep Saefuddin Rektor Universitas Trilogi, agar didapat masukkan dari sisi disiplin ilmu yang berbeda, bagaimana pendapat dan pemikiran beragam sudut ilmu membedah isu tersebut sehingga kajian kami semakin kaya dan terfokus. Memang keterbatasan waktu membuat bahasan yang komprehensif menjadi kurang maksimal dan ini memang telah disadari sejak awal sehingga Universitas Trilogi telah mempersiapkan lembaga kajian khusus tentang bonus demografi peluncurannya dilakukan dalam kesempatan diskusi ini dengan nama Pusat Kajian Kependudukan dan Demografi Indonesia (PKKDI), dengan Ketua Dewan Pembina Sarwono Kusumaatmadja.

     Sebagai moderator, Sarwono menggaris bawahi dua hal penting, yakni: bahwa permasalahan bonus demografi bukan hanya sekedar hitungan statistik kependudukan dengan potensi sumber daya manusianya saja, namun lebih luas lagi pembahasan mengenai bonus demografi harus melalui pendekatan kepentingan yang multidimensi, baik itu dimensi ekonomi, politik, sosial, ataupun budaya yang langsung menyentuh pada masalah-masalah kemanusiaan dan kebangsaan. Selanjutnya, mesti ada kemauan dan komitmen politik kuat dari pemangku kebijakan untuk membuka akses seluas mungkin bagi masyarakat melalui kebijakan yang berorientasi pada potensi, peluang dan tantangan masalah demografi atau kependudukan. Sehingga Implikasi serius pada tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara sebagai akibat peristiwa bonus demografi, akan dapat dihadapi secara cermat. Hanya saja jika kita abaikan peluang tersebut atau melakukan pemberdayaan SDM dengan tidak secara cepat dan tepat di semua sektor, maka segenap potensi tersebut akan menjadi sia-sia. Ketidak mampuan kita meningkatkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut, menyebabkan potensi SDM kita akan tidak berdaya menghadapi persaingan di masa mendatang akibat lemahnya daya dukung, baik mental maupun ‘skill’ untuk bersaing.


Kerancuan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional.

    Diskusi seri ke -2 kelompok pemerhari bonus demografi, desk pendidikan, dilaksanakan pada hari selasa (02/12/14), bertempat di kantor pusat BKKBN, Jakarta. Hadir sebagai narasumber di diskusi tersebut, Prof. Ganjar Kurnia (Rektor UNPAD, Bandung), Prof. Isa Setiansyah (Direktur Poltek Negeri Bandung) dan Prof. Achmad Jazidie (Dirjen Pendidikan Menengah, Kemdikdasmen).

    Masih merujuk pada tema utama seri diskusi bonus demografi yakni, strategi penguatan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia Indonesia dalam memanfaatkan peluang bonus demografi, diskusi dihadiri para praktisi pendidikan, mulai dari kepala sekolah menengah sampai rektor perguruan tinggi di Jakarta.

   Diawal paparannya, Prof. Ganjar meluruskan terlebih dahulu pengerrian dan pemahaman istilah bonus demografi. ‘…kita jangan terkecoh dengan istilah bonus. Tingginya jumlah penduduk usia produktif tidak bisa diartikan merupakan sebagaj sebuah bonus sebab jika laju pertumbuhan penduduk ini tidak dikelola dengan baik maka justru berakibat malapetaka bagi kita. Jadi, sebenarnya persoalan bonus demografi itu tidak lain adalah masalah kependudukan. Itu intinya’ jelasnya. Oleh karenanya, lanjut Prof. Ganjar, yang harus menjadi perhatian bagi kita adalah bagaimana dunia pendidikan mampu memberi kontribusi terhadap kualitas ‘skill’ yang kompetitif dari tenaga kerja kita.

    Pada kesempatan berbicara, Prof. Isa Setiansyah, mengungkapkan bahwasannya Indonesia saat ini membutuhkan kurang lebih 15 juta enjinering sementara yang tersedia baru sekitar 7 juta insinyur. ‘Permasalahan yang cukup mengganggu di dunia pendidikan kita antara lain erat huhungannya dengan mindset dan adaptasi budaya. Misal, pada umumnya banyak dari calon mahasiswa sebenarnya kurang memahami pendidikan apa yang tepat untuk memberdayakan potensi diri mereka sendiri’. ujarnya.

   Sementara, Prof. Achmad Jazidie, selaku dirjen pendidikan menengah mengulas program dan kebijakan pemerintah terkait upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan yang menurutnya memiliki pengaruh besar atas kesiapan sdm kita dalam menghadapi bonus demografi.
Diskusi desk pendidikan berjalan dinamis dan sesekali muncul ungkapan ringan menyegarkan. Purwo, kepala sekolah SMK Grafika Jakarta, misal, dengan gaya khas menggugat pendidikan tinggi yang menurutnya menghasilkan lulusan (output) yang berdasarkan pengalamannya malah tidak membantu. ‘bagaimana bisa menghasilkan anak didik yang memiliki kompetensi, lha gurunya sendiri tidak menguasai mesin praktiknya’. ungkapnya. Seperti meng-iya-kan kondisi carut marut dunia pendidikan, Prof. Ganjar, menyentil melalui perumpamaan segala hal bisa dikerjakan mahasiwa pertanian kecuali pertanian itu sendiri. Demikian pula mengemuka istilah SMK (STM) Sastra sebagai cermin STK yang minim peralatan pratiknya.

  Konklusi diskusi tersebut menyiratkan beberapa hal, pertama, perlu penataan ulang penyelenggaraan pendidikan nasional kita. Universitas sebaiknya diarahkan untuk menghasilkan para pemikir sedang yang berkaitan dengan keakhlian teknis tidak ditingkat universitas. Demikian pula kejelasan posisi SMA dan SMK; di mana SMA lebih diarahkan bagi mereka yang berminat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (universitas), sedang SMK diperuntukkan bagi mereka yang berminat langsung bekerja. Kedua, penataan struktur penyelenggaraan pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap upaya peningkatan daya saing bangsa. Ketiga, perlu dibuat pemetaan riil keahlian yang dibutuhkan, misal, berapa tenaga insinyur, dokter, guru dan lain-lain. sehingga bisa diketahui kolerasi antara permintaan dan kebutuhan. Keempat, perlu dibuka seluasnya kreativitas di dunia pendidikan agar kebiasaan yang bertumpu pada pola ‘mendengar, mencatat dan menghapal’ dapat diminimalisasi sebab kebiasaan tersebut menghambat kemajuan SDM kita. Kelima, perlu diupayakan perubahan mindset/cara berpikir agar mampu menjawab tantangan masa depan, termasuk permasalahan demografi.


MENATAP ESOK HARI


 Generasi Seperti Apa Yang Hendak Di Cetak Negeri Ini ?”.
   
   Masyarakat dan generasi penerus negeri ini di hadapkan pada sebuah realitas yang terjadi di lingkungan sekitar kehidupannya bahwa kejujuran tidak bisa di pertahankan namun kemunafikanlah yang justru terus di pelihara. Pemandangan inilah yang merusak pemikiran generasi muda penerus negeri ini jika mereka teruss-menerus melihat orang-orang yang lebih tua memperlihatkan tingkah lakunya seperti ini. Masyarakat hampir mengetahui bahwa pemimpin dan pemerintahan sangatlah sukses ketika memproduksi sebuah harapan akan tetapi belum banyak menghasilkan bukti-bukti yang mengisi karung-karung harapan. Padahal hidup adalah sebuah tindakan yang nyata terlihat, terdengar dan teralami. Hidup itu bukan kata-kata yang indah, manusia tidak akan sembuh dari penyakitnya dan masyarakat tidak akan kenyang dari laparnya jika hidup dari kata-kata.

     Setelah negeri ini merdeka dari penjajahan maka musuh setelah kemerdekaan adalah kemiskinan. Untuk membangun karakter bangsa tidak bisa hanya dengan membangun karakter anak-anak atau pemudanya. Tetapi yang paling terpenting dan yang paling utama harus dengan memperbaiki system berbangsa dan berbangsa yang sebenarnya di dalamnya justru lebih banyak di perankan oleh mereka yang tua dan pemimpin negeri ini. bagaimana generasi penerus negeri ini akan menjadi baik jika para pemimpin dan panutannya memperlihatkan sesuatu yang tidak baik ?”. Disinilah muncul di depan kita sebuah masalah pemikiran keilmuan yang memisahkan antara pengetahuan yang benar dan pengetahuan yang salah.

    Manusia adalah factor penting dalam menciptakan kehidupan yang baik. Namun sebaik-baiknya system modern atau konsep baru yang ada jika manusianya sendiri tidak baik maka kehidupan tidak akan berubah menjadi baik. Manusia modern bukan saja kaya materi tetapi juga kaya pemikiran dan wacana. Mereka mengkonsumsi pemikiran dan wacana sebagaimana mereka mengkonsumsi makanan. Jangan sampai kita melihat mereka mereka memuja-muja apa yang telah mereka kecam kemarin, begitu sebaliknya tanpa ingat akan besarnya pertentangan yang mereka lakukan. Kita harus mulai sadar diri sekarang bahwa masyarakat kita yang modern itu hanya mengkonsumsi segala sesuatunya secara berlebihan, bahkan dalam bidang pemikiran mereka mengkonsumsi tanpa perhitungan, tanpa kenangan dan tanpa keinginan untuk maju. Negara ini tidak akan pernah bisa berubah menjadi mandiri jika hanya ada satu atau dua orang saja yang mandiri. Kita semua sebagai masyarakat harus bisa menyatukan pola piker bahwa Negara kita yang kaya raya ini mampu untuk di kelola menjadi bangsa yang mandiri dengan tidak mengekor bangsa-bangsa yang telah maju.


Generasi Unggul

    Di dalam setiap pergantian pemerintahan yang terjadi lima tahun sekali maka kita akan di hadapkan oleh kebijakan-kebijakan baru dari pemerintahan yang memenangkan percaturan politik. Perlu kita ketahui bahwa Kebijakan memainkan peran yang sangat menyolok di masyarakat. Kebijakan akan menimbulkan suatu tatanan sifat kepribadian yang baru dan karakter-karakteristik tertentu yang ujung-ujungnya mempengaruhi identitas yang melibatkan kinerja, sifat, karakter dan hakikat dan sifat-sifat lainnya pada masyarakat.  Seharusnya sebelum pemerintah mengeluarkan kebijakan baru jangan pernah melupakan bahwa masyarakat mengharapkan pengakuan dan perhatian atas masalah-masalah yang sedang di alaminya. Masyarakat selalu sangat berharap ketika pemerintah mengembil kebijakan dan memutuskan sebuah keputusan harus benar-benar di landasi sebuah keikhlasan bukan di karenakan adanya unsur politik. Baik dan buruknya kebijakan birokrasi juga menjauhnya Negara dari kepentingan-kepentingan warga negaranya maka mengakibatkan masyarakat terpaksa berhadapan dengan system dagang dalam pertukaran jasa dan harta melalui perantara.

    Lima belas tahun dari sekarang Negara ini akan mengalami Bonus Demografi. Dimana Bonus Demografi adalah usia produktif yang tinggi pada saat usia non-produktif rendah. Jika kita semua tidak memaksimalkan dan memperhitungkan dari sekarang maka apa yang akan terjadi pada negeri yang kita huni ini?”. Faktor yang bisa memanfaatkan peluang bonus demografi dengan baik adalah dengan memberikan pendidikan yang baik untuk generasi penerus negeri ini yang mana dalam dunia pendidikan jangan sampai menerapkan metode-metode ilmu pasti terhadap bidang kemanusiaan. Karena kalau iya maka berarti kita akan merubah manusia menjadi benda untuk mengungkapkan hukum-hukumnya. Pendidikan seharusnya membangun karakter dengan muatan pendidikan yang harus mampu membentuk karakter manusia yang mengarah pada kualitas diri.

     Negara harus mempersiapkan untuk menampung keberadaan generasi muda yang terusir secara sosiologis dan politis oleh generasi terdahulu yang sejak sekarang dan seterusnya jumlahnya makin sedikit. Jangan sampai keberadaan kalangan muda yang sangat besar ini tidak mendapatkan perhatian dan kebutuhan-kebutuhan social dan fungsi-fungsinya terabaikan. Karena kalau generasi muda di sia-siakan maka mereka akan merasa frustasi dan terpojok saat menyaksikan realitas di lingkungan kehidupannya dan menyaksikan televise yang memperlihatkan kehidupan konsumeris, kemakmuran dan kemewahan. Sehingga individu atau masyarakat yang tuduk terhadap jaringan desakan ekonomi, sosiologis, politis akan menuntut mereka menggerakan seluruh kemampuannya dan mengikuti strategi-strategi perilaku yang bertentangan dengan akhlak berbangsa dan bernegara.

     Apapun itu halnya bahwa Sebuah keberhasilan atau kegagalan akan mengalami sebuah proses sebab akibat. Mari kita jadikan bonus demografi ini sebagai anugerah yang besar bukan petaka dengan mencetak generasi-generasi unggul menjadi manusia yang berkarakter dengan identitas ciri yang mempunyai keinginan dan tujuan, sikap percaya diri, bertype pemimpin, berani ambil resiko, berinisiatif, mandiri, kreatif dan bertanggung jawab. Mari kita mensinergikan untuk selalu memahami kebenaran realitas dan mewariskan kebaikan kepada generasi penerus negeri ini agar negeri ini bisa mengoptimalkan keberadaan bonus demografi sebagai berkah dan anugerah untuk semuanya. Oleh karena itu marilah kita bersama-sama membangun kesadaran melalui proses komunikasi di semua sektor lapisan masyarakat dan pemerintah agar bangsa Indonesia berjiwa besar di hadapan dunia internasional di dalam menghadapi bonus demografi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar